Pada suatu Pagi di Bromo, Pegunungan Tengger

10 comments
Akhirnya saya punya mood untuk bercerita mengenai perjalanan saya ke Jawa Timur.


Seperti yang pernah saya katakan di post ini, perjalanan kali ini saya dan mas Pacar nebeng aja. Ngikut aja kemana Bapak, Ibu, dan Adek saya mau pergi. Yah, namanya juga jalan-jalan grateis. Begitu sampai di Jawa timur, tanpa berberes dan tanpa cuci-cuci, mobil kami langsung mengarah ke Bromo. Uwaaaa...saya seneng banget deh. Saya memang kepingin buanget ke Bromo yang katanya menakjubkan pemandangannya. 

Kami sampai di Bromo sekitar jam 3 pagi. Untuk naik ke Bromo dan mengunjungi spot-spot menariknya, kami harus menyewa sebuah jeep, lengkap dengan sopirnya.


Ini saya foto bersama mas Pacar. Bukan sopir Jeep sewaan -_-

Adik saya sempat bertanya: "kenapa sih harus nyewa jeep? Kan mahal?"
Dijawab oleh sopir jeep kami yang ramah: "karena medannya berat".
Adik saya masih comel nanya-nanya: "Kalau bawa jeep sendiri boleh?" Mungkin adik saya pikir, beli jeep itu semurah beli kacang atom sekerdus -_-.
Dijawab lagi oleh pak sopir, sambil tersenyum: "Nggak boleh".
Adik saya meradang: "KENAPAAHHHH?!"

Dan kali ini, Bapak saya yang menjawab: "Agar penduduk disini dapat pemasukan. Masa lingkungan tempat tinggal mereka dijadikan komoditas pariwisata tapi mereka nggak dapet apa-apa?"

Yap. Saya sangat setuju dengan Bapak saya yang gantheng tiada dua. Kalau lokasi ini tetap alami, tentunya akan sangat bagus. Tapiiii, tempat seindah ini, pasti dong cepat atau lambat akan di lirik investor. Dan pengelolaan tempat wisata yang seperti ini rasanya lebih baik deh. Baik karena nggak merusak alamnya, dan juga baik karena memberi pemasukan juga untuk penduduk asli *walau mungkin enggak seberapa :')*.

Jeep yang disewa memang mahal. Sekitar Rp 500 000,- kami hanya bisa mengunjungi tiga spot. Tapi uang yang kami eh...yang bapak saya bayarkan nggak sia-sia. Pemandangannya menakjubkan!!!



Beberapa waktu yang lalu, saya sempat mengunjungi Museum Merapi di Yogyakarta. Di Museum tersebut ada gambar-gambar yang menceritakan legenda pegunungan, salah satunya, legenda mengenai pegunungan Tengger ini. Asal muasal Upacara Kasada.

Saya akan ulang cerita tersebut:

Roro Anteng dan Joko Seger adalah pasangan suami istri yang lama nggak dikaruniai keturunan. Maka mereka bersemedi di kaki gunung bromo. Lalu jawaban diterima: "engkau akan dikaruniai anak-anak, tetapi putra bungsumu harus kau berikan padaku. Lemparkan Putra bungsumu ke kawahku". 
Mereka menyanggupi syarat itu.

Bertahun-tahun akhirnya mereka beranak-anak. Dan melupakan janjinya untuk melemparkan si bungsu ke kawah berapi. Sang gunung marah. Dia menyemburkan magma dan panasnya ke permukaan, menyapu desa yang ada, semua pontang-panting menyelamatkan diri dari jilatannya. Dan ketika emosi alam mereda, Putra Bungsu mereka, Raden kusuma, telah hilang ditelan gunung.

Lalu terdengar suara dari perut gunung, suara Raden Kusuma yang telah menyatu: “Wahai, Ayah dan Ibuku serta saudara-saudaraku semua, hidupku sudah tentram dan aku sudah berkorban untuk kalian semua. Karena itu, hiduplah dengan rukun dan berbaktilah kepada Sang Hyang Widhi. Jangan memikirkan aku. Pesanku, kirimkanlah sebagian hasil ladang tanah ini ke kawah dan lakukanlah pada saat purnama pada bulan Kasada".

Maka terciptalah Upacara adat Kasada sejak saat itu.

Nah, lokasi terjadinya legenda tersebut adalah di sini, di pegunungan Tengger ini.

Suku Tengger yang bermukim di 4 kabupaten yang mengelilingi Gunung Bromo memulai ritual adat Kasada dengan melakukan mendak tirta (mengambil air suci) di sejumlah mata air dikawasan Gunung Bromo. Lalu sesaji berupa hasil bumi, palawija, dan ternak yang sudah dimantrai akan di larung kepada Kawah Gunung Bromo. Untuk mencapai lokasi larung sajen, kami nggak boleh naik jeep. Kami harus jalan kaki atau menyewa kuda *ses Tintaz pasti pilih jalan kaki karena dia takut kuda. Malu ih udah gede masih takut sama kuda*.


Saya dapet kuda yang ramah banget, namanya Kipper. Mukanya buluk ya? Saya juga awalnya ngatain dia, "kamuh kok jelek?" Lalu dia jawab. Rrrrr...maksud saya dia jawab melalui pemiliknya: "Akuh masih ABG. Nanti kalo udah gede, buluku bakalan jadi putih mulus dan aku bakalan kelihatan gagah banget". baiklah Kipper. Semoga kamu cepet gantheng :).

Oh iya, jangan heran kalau semuaaa penduduk lokal pakai sarung kemana-mana. Termasuk pak Sopir dan bapak pemilik Kipper juga pakai sarung. Sarung memang pakaian adat yang penting banget untuk suku Tengger. Katanya pak Sopir, sarung merupakan senjata paling ampuh dan paling nyaman untuk menusir hawa dingin pegunungan Bromo.

Kami naik Kuda sampai tepat di kaki gunungnya, yang disana sudah dibangun 250 anak tangga untuk mempermudah para wisatawan dan juga memperlancar ritual adat. Ini nih anak tangganya:


Untuk menaiki tangga itu sampai ke puncak, kami harus jalan kaki. Ya iya lah, kudanya nggak bisa naik tangga. Sejujurnya, ehem...saya nggak naik ke sana. Nggak mood waktu itu. Berkunang-kunang setelah kepanasan sekaligus kedinginan dalam perjalanan jauh yang saya tempuh dengan berjalan kaki dan naik Kipper.

Sementara menunggu Bapak, Ibu, dan Adik saya yang dengan semangat 2012 menaiki anak tangga, saya foto-foto dari situ. Walau belum di puncak gunung, tapi lokasi saya sudah cukup tinggi. Saya mengambil gambar Pura dibawah:


Memang ada Pura di tengah-tengah lokasi pegunungan Tengger. Kepercayaan asli penduduk lokal sana adalah Hindu.

Sekedar informasi saja, budaya serta kepercayaan yang ada di Bali, sebenarnya adalah bawaan dari Jawa Timur. Ceritanya: Setelah kerajaan Majapahit kalah oleh Islam, para pendeta dan seniman dari Majapahit lari ke Bali. Oleh karena itu, budaya yang dipengaruhi oleh Jawa Hindu seperti ukiran, lukisan, wayang dan lainnya berkembang di Bali. Mas Pacar pernah menemani kawan-kawan Hindu dari Bali pelesir ke Bromo, dalam rangka ziarah.


Saya nggak banyak mengambil foto diri, karena bentuk saya kucel sekali. Bayangkan, setelah enam jam perjalanan jauh di mobil, begitu turun langsung menjelajah ke Bromo yang walau dingin tapi berdebu. Dan karena saat itu belum mampir hotel manapun sehingga belum bongkar tas, maka jelas nggak sempat pakai sunblock segala macem. Padahal, matahari di Bromo ini sebenarnya menyengat. Hanya saja nggak terasa karena hawanya yang dingin. Alhasil, sepulang liburan, kulit saya perih dan belang-belang :').


Update:

Adik saya ngamuk-ngamuk waktu baca blog saya dan nggak ada satupun mukanya yang mejeng disini. Jadi ini saya tampilin deh disini muka dia -_-


Jadi disepanjang perjalanan, dia duduk di samping pak Sopir di bagian depan jeep. Dan bertingkah seolah-olah di menculik kami semua yang duduk di belakang jeep. Nah, foto diatas adalah adik saya dengan jeep penculik dan muka (sok) sangarnya. -_____________-

10 comments

  1. dari cerita Anda, saya menyimpulkan..
    adik Anda sama comelnya dengan Anda :D

    ReplyDelete
  2. iya ya..aku yg selama ini silent reader jarang [ato malah sekali ini] baca tentang adeknya kakak ^^;
    review sunblock duong~ yg murah [teteup]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Habis gag pentiingg. Konstribusinya terhadap permakeupanku cuma mberantakin, mecahin dan matahin -__-

      Sunblock udah pernah aku review disini

      Delete
    2. gak ya, aku selalu jadi kelinci percobaannya ses arum loohhhh

      Delete
  3. Nice pics, Ses^^
    Ternyata di bromo menyengat to, pdhal banyak yg bilang cuman dingin aja. He he baru tahu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanx, Deasy :)
      Iya menyengat. Tapi enggak kerasa soalnya hawanya dingin & keasikan liat pemandangan. Tapi setelah selesai, wow, baru kerasa iritasi, gosong & panas di ubun2.

      Delete

Hai, terima kasih sudah mampir di sini dan berkomentar dengan sopan ;).
Komentar yang menyertakan link hidup dan kometar yang sifatnya mempromosikan website komersil/ barang jualan akan dihapus.