Coba-coba Pakai Wig

20 comments


Kalau dua tahun yang lalu saya ngomong: "pengen beli wig!", pasti sekalian umat bakalan berkata: "buat apaan sih? Aneh-aneh aja!". Tapi berhubung saya pengen wig ini di tahun 2014, jadi nggak ada yang nganggep saya aneh-aneh. Memang sih, akhir-akhir ini wig udah jadi semacam gaya hidup yang normal. Kalau jaman dulu memang yang pakai wig itu identik dengan bencong yang suka ngamen di perempatan UKDW, om-om senang yang rambutnya mulai menipis, dan Gayus. Jaman sekarang embak-embak selebgram dan selebblog, serta embak-embak gaul di mall pun udah pakai tanpa malu-malu.

Wig jaman sekarang juga nggak sama kayak jaman dulu yah. Model wig-nya bagus-bagus, kaya model rambut asli. Kualitas rambutnya juga bagus, lembut dan nggak rontok. Terus juga wig-wig ini nyaman dipakai. Yang lagi hips di jagat raya instagram sih wig dari Thailand.

Saya awalnya nggak tertarik sama wig. Saya memang tipe manusia lama, atau dibilang jadul juga boleh lah! Bukannya mau sok-sokan anti-mainstream, tapi memang saya kurang "masuk" dengan beberapa trend kecantikan yang sedang berkembang saat ini. Diantaranya: aegyo sal, blonde hair, ombre lips, dan enlarging circle lenses. Bukan apa-apa sih, tapi memang muka saya nggak cocok buat trend tersebut. Buat lucu-lucuan dandan dan foto-foto oke lah. Tapi big no-no buat saya kalau untuk daily style.

Trend-trend tersebut mungkin bagus di beberapa orang, tapi nggak bagus ketika diaplikasikan di muka awsome saya. Wig juga begitu, saya nggak tertarik karena saya ngerasa saya bukan orang yang telaten ngerawat wig, dan lagi saya ini tipe yang pakai bandana dan topi aja kegerahan, masa mau pakai wig?


[Skincare Routine] Update Rutinitas Skincare 2014

44 comments
Racun Warna Warni Skincare Routine

Saya rasa inilah waktu yang tepat untuk update rutinitas skincare saya. Kapan sih waktu yang tepat untuk update rutinitas perawatan muka? Kalau udah mulai banyak yang tanya: "situ pakek krim apa? Tumben rada bersihan." Nah, berhubung udah mulai banyak yang tanya-tanya ke saya, makanya saya update.

Seperti biasa, sebelum saya nge-post soal skincare atau perawatan kulit, saya harus mengingatkan kalau skincare itu cocok-cocokan. Yang oke di saya mungkin nggak oke di situ. Dan saya juga mau mengingatkan kalau saya akan nyuekin komen atau email yang bau-baunya mau konsultasi soal kulit dan perawatannya. Masalahnya saya bukan dokter kulit dan saya takut menyesatkan. Tapi kalau serius pada banyak yang mau konsultasi, saya akan mempertimbangkan bukak lapak konsultasi onlen. Nggak gratis ya tapi. Sekali konsul go pek ceng.

Tentunya sebelum masuk ke perawatan kulit, saya harus menjelaskan kondisi kulit saya dulu. Biar yang mau nyontek bisa memastikan kalau yang dicontek kulitnya sealiran. Kulit saya sebenernya normal cenderung kering. Tapi sejak pindah ke Jakarta, bagian hidung dan dagu jadi agak berminyak. Jadi mungkin sekarang kulit saya judulnya kombinasi. Kombinasi tapi awsome.

Terus kalau saya baca-baca mbak-mbak beauty blogger yang lain gitu, perawatan kulit mereka nggak asal, tapi mengambil "ide" dari manaa gitu. Misalnya ada mbak anu yang idenya adalah perawatan kulit wanita Korea yang krimnya berlapis-lapis karena masing-masing tahapan dipercaya mempunyai fungsinya sendiri-sendiri. Atau si mbak itu yang ide perawatannya dari Jepang, yang kalau pakai toner bagusnya dikompresin agak lama dan kalau pakai krim ditampar-tamparin ke muka biar lebih meresap. Dan semuanya bagus-bagus aja sih menurut saya selama cocok dengan kulit dan dompet.

Nah, kalau ide perawatan yang saya ambil asalnya dari jaman jadul, ketika produk skincare botolan belum banyak. Jadi ide perawatan saya adalah dengan cara meminimalisir jumlah produk yang ditemplokin di muka. Termasuk membiasakan diri nggak pakai make up setiap hari, juga merupakan bagian dari perawatan kulit saya. Itu karena menurut saya:

Review: Roro Mendut Royal Black Spice Series

27 comments
Roro Mendut Royal Black

Saya selalu tertarik sama traditional skincare. Apalagi yang bahan dan aromanya kayak rempah-rempah. Duh, menggoda banget. Kalau spa di salon, saya juga selalu milih varian rerempahan. Soalnya sebagai orang Jawa tulen, saya percaya banget sama khasiat akar-akaran dan dedaunan yang sudah sejak jaman nenek moyang diramu untuk keperluan perawatan kecantikan dan kesehatan. Ketambahan lagi saya demen banget sama bau jamu. Selain bikin kulit indah dan sehat, aromanya juga menenangkan pikiran.

Calon pengantin Jawa biasanya juga akan diberi berbagai macam ramuan tradisional untuk perawatan kulit oleh dukun mantennya. Dukun manten ini bukan dukun-dukun goib gitu loh ya, tapi sebutan untuk MUA pengantin tradisional Jawa. Mereka percaya kalau agar tampil cantik dan sensual pada hari pernikahan dan pada malam pertama, nggak bisa kalau hanya mengandalkan make up. Tapi juga harus dibarengi dengan perawatan menyeluruh dan telaten dengan produk-produk tradisional ala putri keraton.

Sekitaran bulan lalu, saya dapet kiriman segepok skincare tradisional dari Roro Mendut Traditional Skincare. Mungkin rangkaian ini masih asing ya nama brand-nya. Rangkaian perawatan ini adalah produk tradisional yang di produksi di Jogja, dan biasa dijual di Mirota Batik. Selain di Mirota Batik, juga udah dijual di toko-toko lain di seluruh kota di Indonesia. Tapi sekarang sih temen-temen beli secara online di web-nya.


Resep Mudah: Cap Jae Ndeso

22 comments

Resep Cap Jae Ndeso

Kalau saya ngomong "Cap Jae", pasti bayangan orang-orang tug langsung ke capcay ala chinnesse food yang isinya sebagian besar terdiri dari sayur mayur, dikasih ayam dikit, udang dikit, telur dikit dan berkuah. Kalau googling resep cap jae juga yang muncul selalu resep capcay ala chinnesse food. Padahal cap jae itu beda sama capcay. Makanya saya kasih label "ndeso" di belakangnya.

Cap jae ini memang makanan ndeso. Tapi jangan salah, walau ndeso nikmatnya tiada dua. Makanan ini nggak mahal dan nggak mengandung daging-dagingan, kecuali ditambahin sendiri ya. Tapi udah endeus banget lah.

Kalau di kampung saya di pinggiran Solo sono, dulu kalau sore ada embah-embah yang jualan makanan-makanan ndeso dalam bakul yang digendong. Sekarang sih bahkan di kampung saya udah nggak ada, apalagi di Jakarta. Sekarang kalau cari cap jae di Solo, bisa langsung ke pasar tradisional, atau kadang ada beberapa hik yang masih jualan cap jae ini, porsi mini dan dibungkus daun pisang.

Tapi nggak semua cap jae enak dan sesuai sama selera saya. Kebanyakan cap jae yang beredar saat ini udah nggak seenak dulu. Cap jae yang enak menurut saya tuh yang empuknya pas, gurih, sedikit manis, dan sedikit "basah" tapi bukan berkuah lho ya. Sedangkan cap jae yang banyak beredar sekarang itu keras, sama sekali nggak manis, cuma gurih asin aja bahkan terkadang hambar, dan kering.

Makanya saya cobak bikin sendiri. Tapi kemarin-kemarin ini saya coba-coba bikin belum pernah berhasil. Maksudnya berhasil adalah enak menurut standar saya. Cap jae bikinan saya sebelum ini sih kata orang lain yang makan enak, tapi kalau kata saya masih belum seperti cap jae enak yang saya mau. Udah putus asa aja rasanya bikin cap jae, berasa buang-buang tepung terigu aja. Tapi hari ini saya mentok banget kepengennya. Ditambah lagi dipamerin Tintaz kalau dia setiap pagi dibeliin ginian sama ibuknya T.T.